Suatu Sore Bersama Mama

 

mardanurdin.com
Foto dokumen pribadi

Suatu sore saya berbincang-bincang dengan mamaku, mendengarkannya bercerita tentang masa lalu yang kami jalani bersama. Hal-hal indah yang membuat kami tersenyum bahkan terbahak-bahak, hal-hal yang menyedihkan dan kejadian-kejadian yang memalukan dan rasanya ingin dikubur dalam-dalam saja.

Saya mengamati senyumnya yang tetap manis di mataku, keriput di sekitar bibirnya, di bawah matanya, di pipinya, di lehernya, di lengan ringkihnya, dan saya tersadar kalau ia tertawa  semakin tampak nyata keriputnya, matanya nyaris tertutupi oleh kulit di sekitar matanya yang menggelambir.


Ia terus bercerita tentang masa lalunya seakan menyiratkan kalau ia rindu dengan masa di saat ia menjadi penguasa tunggal dalam keluarga di mana semua keputusan yang ia buat bersifat absolut. 


Saya hanyut dalam ceritanya seakan saya sedang berada di posisinya. Lalu imajinasiku menciptakan situasi yang sama di mana saya berada pada posisi dia yang sekarang. Duduk menghadap ke jendela dengan mata penuh harap atas kunjungan anak dan cucu. 

Sendiri dalam kesunyian dan rasa sepi pun menyergap.  Ah, saya jadi takut membayangkannya, sekalipun saya suka kesendirian, tetapi tidak benar-benar sendiri dan sepi. 

Mamaku masih terus bercerita tentang hal-hal indah dan terkadang terdengar konyol. Ketika ia bercerita tentang masa-masa susahnya, saya mencoba  mengalihkan ingatannya dengan bertanya, “Ma, masih ingatkah mama waktu saya terjatuh di depan Ka’bah sehabis tawaf?”

Mama terkekeh lalu berkata, “iyah, gara-gara pandangan matamu kemana-mana kan?”

“Makanya harus selalu jaga pandangan, jangan sembarang dilihat, Allah menegur kamu waktu itu.” 

Dari semua hal yang kami lalui bersama, perjalanan umroh dan haji adalah  hal yang terindah yang ia rasakan. Namun, hal yang paling menyedihkan buatnya adalah saat rumah kami kebakaran. 

“waktu bapakmu meninggal dunia, saya sangat bersedih, tetapi sedikit tertutupi oleh harapan dan tanggung jawab sebagai orang tua tunggal. Namun, ketika peristiwa kebakaran itu melalap semua yang kita miliki, saya merasa ujian dari Tuhan terlalu berat. Kenapa Dia memberikan ujiannya saat usia saya sudah tua, kenapa bukan dari dulu.”

Lalu ia beristigfar dan mengurut dadanya yang semakin ringkih.

“Bagaimana perasaan mama sekarang?” Saya mengalihkan lagi kesedihannya.

“Yaaah alhamdulillah, saya bersyukur karena masih hidup, masih bisa makan dan rumah yang terbakar dulu sudah ada gantinya bahkan lebih baik dari rumah yang terbakar itu.”


“Jadi Tuhan tidak pernah meninggalkan kita kan Ma?”

“Iyah, Tuhan memang Maha Baik.”

Masih banyak yang kami bicarakan, tetapi seperti setiap  perjalanan selalu ada saat  untuk berhenti. Maka kami berhenti sejenak dan melipat kembali kenangan-kenangan dalam ingatan untuk kami urai lagi nanti.

Sehat terus ya Mama dan bersabarlah atas penyakit lemah yang mama alami sekarang. Insyaallah, penyakit itu adalah cara Allah mencuci dosa-dosa mama. Seperti yang selalu mama ajarkan untuk jangan lupa beristigfar karena manusia tidak ada yang luput dosa.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer