Pensiunlah Pada Waktunya; Celoteh Guru



 

 

Hari ini adalah hari kedua pelaksanaan ujian semester di sekolahku. Alhamdulilah dilaksanakan secara offline. Sebelumnya, proses pembelajaran pun sudah dilaksanakan secara tatap muka tanpa pembatasan jumlah siswa.

Sudah normal seperti tahun sebelum datangnya pandemi. 

 

Keriuhan celoteh anak-anak akhirnya terdengar lagi. Lalu, seketika kesenyapan dua tahun lalu terlupakan.

 

Teman-teman yang mengajar di kelas 9, seperti saya sudah lama “nganggur” siswa kelas 9 sudah ujian akhir, sekalipun bukan ujian nasional seperti beberapa tahun lalu. Namun, itu menandakan kalau proses pembelajaran untuk kelas 9 sudah selesai.

Kegiatan siswa kelas 9 sekarang tinggal mengambil rapor dan SKHU nya.

 

Kesempatan tidak mengajar itu saya gunakan dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah menambah tulisan untuk naskah fiksiku yang tertunda. Belum selesai sih, tetapi ada sedikit kemajuan.

 

Sementara itu, naskah Cinta Hanan dan Aminah, saya simpan dahulu, Kemarin saya nekat mengirimnya ke KBM App dan berhenti di Bab 9. Saya menyadari, proses penulisan naskah itu belum bisa berjalan dengan baik disebabkan riset yang saya lakukan belum tuntas. 


Maka saya putuskan untuk menunggu waktu yang tepat untuk betul-betul meriset.

Betul kata mentor-mentor nulisku, sekalipun itu naskah fiksi, riset harus tetap dilakukan. Semakin lengkap risetnya maka akan semakin mudah untuk menyelesaikannya.

 

Mari kembali fokus ke hal yang akan saya ceritakan, yaitu tentang sekolah dan hal-hal yang berhubungan dengannya.

 

Di ujung-ujung masa pengabdianku sebagai guru ASN, saya berusaha  mempersiapkan jiwa raga untuk menyambutnya. Minimal sudah punya rencana kegiatan apa yang akan saya lakukan nanti, termasuk menyiapkan mental manakala nanti saya tidak punya kesibukan mengajar lagi dan mengerjakan segala hal yang berhubungan dengan proses belajar mengajar.

 

 

Masih 2 tahun lagi sebenarnya, insyaallah saya pensiun pada akhir tahun 2024, masih  cukup lama dibandingkan suami saya yang akan pensiun akhir tahun ini. 

 

Tetapi bukankah waktu itu bagaikan kilatan cahaya yang tak dapat dihentikan walau sedetik?

Maka mempersiapan diri sejak dini pasti akan jauh lebih baik. Terutama mental saya. 

 

Saya menyadari bahwa di dalam jiwa saya  terdapat sifat yang tidak bisa tinggal diam saja tanpa ngapa-ngapain, tidak bisa tinggal di rumah mengurus anak atau cucu saja. Itu bukan saya. 

 

Oleh sebab itu saya mempersiapkan diri dengan menulis dan ngeblog. Jika masih bisa, saya akan kembali menekuni hobi lama saya, yaitu menjahit dan kemungkinan merawat tanaman. 

 

Kalau yang terakhir itu bukan hobi lama, tetapi berkah pandemi selama 2 tahun ini, saya mencoba merawat tanaman untuk membunuh rasa jenuh, alhamdulillah keterusan sampai sekarang.

 

Beberapa kali ada teman yang bertanya, “kan pensiunnya masih lama, kenapa tidak fokus mengabdikan diri pada tanggung jawabnya sebagai guru? Kenapa tidak ikut berkontribusi dalam program pemerintah, sebagai guru penggerak misalnya?

 

Maka saya jawab, soal mengabdi sebagai guru, alhamdulillah saya masih menjalankannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Saya katakan, mengajar dan mendidik adalah harga mati dan akan saya lakukan hingga tiba di titik akhir pengabdian saya.

 

Namun, untuk program sekolah penggerak yang melibatkan gurunya sebagai guru penggerak sepertinya buat orang seusia saya sudah tidak masuk kategori.

 

Program ini atau katakanlah kurikulum pendidikan secara tak sengaja telah menempatkan guru-guru yang berusia 55 tahun ke atas untuk fokus saja dengan tugas mengajarnya sembari menanti datangnya masa purnabakti. 

 

Hal ini saya rasakan ketika pertama kali diluncurkannya program sekolah penggerak. Saya orang pertama yang mendaftar menjadi guru penggerak, tetapi ditolak karena usia tidak memenuhi kriteria. 

 

Mungkin itu kesimpulan saya saja, tetapi itulah kenyataannya.

 

Walaupun gagal menjadi guru penggerak, saya masih belajar kok, masih mengikuti berbagai pelatihan untuk meningkatkan komptensi sebagai guru. Terutama pada masa pandemi, berbagai pelatihan daring saya ikuti.

 

Jadi, siapa bilang, seorang calon purnabakti memensiunkan dirinya secara dini.

Kecuali mungkin kalau fisik sudah tidak mendukung.

 

Saya akan pensiun pada waktunya, maka doakan saya yah agar tetap sehat dan bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya lalu pensiun dengan bahagia.


Jakarta, 14 Juni 2022


Salam, Dawiah

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer